BAGIAN 1: PINTU WAKTU DI LAUT UTARA
Tahun
873 M – Laut Utara yang ganas.
Di
atas gelombang yang memecah badai, kapal naga milik Jarl Eirikr “Si Tangan
Berdarah†melaju membelah amukan alam. Para Viking, haus akan kehormatan dan
rampasan, baru saja menjarah pesisir Inggris. Namun malam itu, langit tak
biasa. Kilat menyambar dari atas ke bawah seperti ular emas, dan di tengah
laut... terbuka sebuah pusaran cahaya.
“Dewa-dewa
Asgard membuka jalan ke Valhalla!†seru salah satu prajurit.
Tapi
Eirikr tahu ini bukan Valhalla. Angin yang keluar dari pusaran terasa asing,
seperti bau logam dan bunga sakura yang aneh. Mereka ditarik masuk... dan
lenyap dari Laut Utara.
---
Tahun
1582 – Jepang, era Sengoku
Di
kaki Gunung Fuji, klan Takeda sedang bersiap menghadapi musuh bebuyutan mereka,
klan Oda. Tapi malam itu, langit pun bergetar. Di tengah ladang, muncul kilatan
cahaya. Petir menyambar tanah, dan dari pusaran itu, muncul perahu panjang dari
kayu... dengan kepala naga di depannya.
Belasan
pria bertubuh besar dengan rambut dikepang melompat turun, mengacungkan kapak
dan pedang lebar. Mata mereka liar. Mereka berseru dalam bahasa yang tak
dimengerti.
Samurai
muda bernama Hayato, pengawal pribadi Takeda Katsuyori, menyaksikan pemandangan
itu dengan mata membelalak. Ia menggenggam katana erat-erat.
“Mahluk
dari neraka?†tanya salah satu biksu.
“Bukan...
mereka adalah manusia. Tapi bukan dari dunia ini,†kata Hayato, tajam.
Mata
Eirikr dan Hayato bertemu di tengah ladang. Keduanya paham: ini bukan pertemuan
biasa. Ini takdir.
Pertempuran
zaman... baru saja dimulai.
Bersambung...
---
BAGIAN
2: PERANG GAYA BERBEDA
Kabut
pagi menutupi ladang luas di kaki Gunung Fuji. Di satu sisi, ratusan Samurai
berdiri tegap dalam formasi disiplin. Armor lamellar mereka berkilau, panah
terselip rapi, tombak siap terhunus. Di sisi lain, para Viking—tanpa formasi
kaku—berdiri bagaikan kawanan serigala liar, masing-masing memegang kapak,
pedang, dan tameng bundar. Mereka tertawa, menghantam tameng sendiri untuk
membangkitkan semangat.
Hayato
memandang mereka dengan rasa penasaran dan kehati-hatian. “Mereka tidak punya
formasi. Tapi jangan tertipu… mereka adalah pejuang sejati,†katanya pada
Katsuyori.
Takeda
Katsuyori mengangguk. “Kita gunakan medan. Kita punya pemanah, pasukan kuda,
dan keunggulan taktik. Serang dari tiga arah. Jangan biarkan mereka mendekat.â€
Sementara
itu, Eirikr memberi aba-aba pada pasukannya. Bukan dengan strategi yang rumit,
tapi dengan insting. “Pecah barisan mereka. Dekati dengan cepat, jangan beri
waktu menarik busur. Kita adalah badai!â€
---
Pertempuran
pun pecah.
Samurai
memulai lebih dulu. Panah melesat dari bukit. Deretan Viking roboh, tapi
sisanya tetap berlari. Mereka mengangkat tameng, berputar, membentuk dinding
perisai seadanya. Tak sempurna, tapi cukup untuk mendekat.
Pasukan
kuda Takeda menghantam dari samping. Tapi Viking punya kejutan—tombak panjang
yang disembunyikan dari reruntuhan gerobak mereka. Dengan teriakan keras,
mereka menghujamkan tombak ke arah kuda yang mendekat. Beberapa kuda tumbang,
dan pertempuran jarak dekat pun pecah.
Suara
besi bertemu besi menggema. Samurai menjaga ritme, bergerak dengan teknik.
Viking menyerang beringas, tak kenal takut.
Di
tengah kekacauan, Eirikr mengamuk seperti beruang. Setiap ayunan kapaknya
memotong dua nyawa. Hayato melihat itu dari kejauhan. Ia menarik napas, lalu
berteriak:
“Buka
jalan untukku!â€
Pasukan
samurai mencoba mendekat ke pusat pertempuran. Mereka tahu... duel antara dua
pemimpin akan segera terjadi.
Bersambung...
---
---
BAGIAN
3: DUA JIWA, SATU TAKDIR
Ladang
pertempuran telah berubah menjadi lautan darah dan debu. Tubuh-tubuh
bergelimpangan. Tapi di tengah kekacauan itu, dua prajurit berdiri, menghadap
satu sama lain, seolah dunia hening hanya untuk mereka.
Hayato
berjalan perlahan, katana di tangan, darah menetes dari ujung sarungnya.
Matanya tajam seperti mata elang, tapi dalamnya tenang. Ia lahir dari disiplin
dan kehormatan.
Di
seberangnya, Eirikr menjinjing kapak bermata dua, bahunya berdarah, namun sorot
matanya menyala seperti api. Ia bukan hanya pemimpin—ia adalah badai yang
hidup.
“Namamu?â€
tanya Eirikr, suara beratnya nyaring di tengah desingan anak panah.
“Hayato,â€
jawabnya singkat. “Anak dari tanah ini.â€
Eirikr
mengangguk. “Aku Eirikr. Anak badai dari utara. Mari kita tentukan siapa yang
lebih pantas hidup hari ini.â€
---
Duel
dimulai.
Hayato
bergerak duluan, cepat seperti kilat. Katana menyambar ke arah bahu
Eirikr—tapi Viking itu memutar kapaknya dan menahan serangan itu dengan
kekuatan luar biasa. Dentuman logam mengguncang tanah di bawah kaki mereka.
Eirikr
membalas dengan ayunan horizontal yang bisa membelah pohon. Hayato melompat
mundur, lalu menyapu dengan tebasan rendah—mencoba menjatuhkan keseimbangan
sang Viking. Eirikr nyaris jatuh, tapi malah menggunakan momentum itu untuk
meluncurkan serangan balasan dari bawah.
Katana
dan kapak bertemu berkali-kali. Teknik versus kekuatan. Kecepatan versus
brutalitas.
Darah
mengalir di lengan Hayato, dan luka besar membekas di rusuk Eirikr. Tapi tak
satu pun mundur.
Sampai
akhirnya… dua senjata bersilangan keras. Mereka saling dorong. Mata bertemu
mata.
“Kenapa
kau bertarung?†tanya Eirikr, menahan napas.
“Untuk
melindungi,†jawab Hayato.
“Dan
aku… untuk menaklukkan.â€
Mereka
berpisah, bersiap untuk serangan terakhir.
Lalu—dua
bayangan melesat. Dua senjata menyambar. Dan satu dari mereka… roboh.
Bersambung...
---
BAGIAN
4: KEPUTUSAN WAKTU
Dua
bayangan melesat seperti kilat.
Katana
dan kapak saling beradu—dan di momen yang nyaris tak terlihat, darah
menyembur ke tanah.
Semua
prajurit di medan tempur membeku. Samurai dan Viking sama-sama menahan napas.
Eirikr
berdiri… namun lututnya bergetar. Di dadanya, terlihat sobekan panjang. Darah
mengalir deras. Ia menatap Hayato yang berlutut dengan luka di bahunya.
Mereka
sama-sama terluka parah.
Tapi…
justru saat Hayato mencoba berdiri lagi, langit mendadak bergetar.
Grrrkkkkkkhhhhh!
Tanah
di bawah kaki mereka mulai bergetar hebat, seperti gempa. Di langit, pusaran
cahaya yang membawa para Viking ke zaman ini muncul lagi, kali ini lebih besar,
lebih liar. Tapi ada yang berbeda… sosok-sosok lain mulai terlihat dari dalam
pusaran. Bukan Viking. Bukan Samurai.
Siluet
dengan senapan… helm… dan baju besi baja.
“Apalagi
ini?†gumam Hayato, matanya menyipit.
Eirikr
tertawa kecil meski berdarah. “Mungkin… giliran dewa kalian menguji kita.â€
Dari
pusaran waktu, pasukan baru melangkah masuk: Prajurit bersenjata api dari era
Perang Dunia I.
Mereka
tampak kebingungan. Beberapa langsung menodongkan senapan ke arah Viking dan
Samurai. Yang lain mengamati sekitar, bingung setengah mati melihat dua pasukan
zaman kuno.
Hayato
dan Eirikr berdiri berdampingan, kini sama-sama memandang ancaman baru.
“Teman
atau musuh?†tanya Eirikr.
Hayato
menjawab tanpa ragu, “Kalau mereka datang dengan senjata seperti itu… kita
anggap musuh.â€
Dua
musuh lama… kini mungkin harus bertempur bersama.
Bersambung...
---
BAGIAN
5: SEKUTU DALAM KEGILAAN
Asap
dari ladang pertempuran belum menghilang, saat suara letusan pertama menggema.
DOR!
Salah
satu prajurit Viking terhuyung dan jatuh. Lubang menganga di dadanya. Belum
sempat yang lain bereaksi, tembakan demi tembakan kembali menghantam tanah dan
tubuh.
Pasukan
dari masa depan—berseragam abu-abu kusam, lengkap dengan senapan dan helm
baja—mulai merangsek masuk ke medan perang, panik, tapi bersenjata mematikan.
Hayato
melompat ke balik batu besar, napasnya terengah. Ia tak mengerti senjata itu,
tapi ia tahu satu hal: mereka berbahaya.
Eirikr
berteriak pada pasukannya, “Mundur! Cari perlindungan!†Tapi mereka tak
terbiasa menghadapi musuh yang menyerang dari jauh, tanpa terlihat.
“Senjata
setan!†seru salah satu Viking, ketakutan.
Hayato
merangkak ke sisi Eirikr yang bersembunyi di balik gerobak terbakar. Mata
mereka bertemu.
“Jika
kau ingin hidup,†kata Hayato, “kita harus bertarung bersama.â€
Eirikr
mengangguk. “Kau beri perintah. Aku jalankan. Tapi kalau kita mati, pastikan
kita mati berdiri.â€
---
Strategi
dadakan pun disusun.
Hayato
memimpin sekelompok samurai dan Viking menyusup dari kanan, menggunakan kabut
dan puing-puing sebagai perlindungan.
Sementara
Eirikr memimpin serangan pengalihan dari depan—memancing tembakan dan
mengalihkan perhatian.
Dengan
keberanian gila, mereka berhasil menyergap sebagian kecil pasukan dari masa
depan. Mereka menjatuhkan dua prajurit, merebut satu senapan.
Hayato
memegang senapan itu… tangannya bergetar. “Senjata tanpa pedang. Tapi
kekuatannya seperti petir…â€
Namun
belum sempat mereka memahami cara menggunakannya, langit bergetar lagi.
Pusaran
waktu ketiga terbuka.
Tapi
kali ini… bukan hanya satu kelompok.
Pasukan
Romawi. Penunggang kuda Mongol. Prajurit kolonial Inggris. Dan… seorang anak
kecil dengan hoodie dan skateboard.
Waktu…
benar-benar hancur.
Hayato
menatap Eirikr, wajahnya tegang. “Dunia ini… akan berubah selamanya.â€
Eirikr
mencengkeram kapaknya. “Maka kita pun harus berubah. Atau musnah.â€
Bersambung...
---
FINAL
CHAPTER: PERANG DI UJUNG WAKTU
Langit
robek. Pusaran-pusaran waktu tak berhenti membuka celah ke berbagai zaman. Bumi
di bawahnya jadi panggung kekacauan. Pasukan Romawi dengan formasi testudo,
pasukan Mongol menunggang kuda dengan panah melesat, tentara kolonial dengan
bayonet, dan anak-anak modern yang kebingungan di tengah perang.
Tapi
dari tengah kekacauan itu, satu suara menggelegar:
“Cukup!â€
Semua
pandangan tertuju pada sosok misterius yang muncul dari dalam pusaran terbesar.
Ia memakai jubah hitam panjang, matanya berkilau seperti bintang, dan di
tangannya ada jam pasir terbalik, mengambang di udara.
“Aku
adalah Penjaga Waktu. Kalian semua telah melanggar batas zaman. Dunia ini tak
bisa menampung semua era!â€
Ia
mengangkat tangannya, dan waktu di sekeliling melambat. Anak panah berhenti di
udara. Debu menggantung. Tapi Hayato dan Eirikr… tetap bisa bergerak.
Penjaga
Waktu menatap mereka. “Kalian dua—pemimpin yang paling kuat tekadnya.
Pilihlah. Kalian bisa mengatur ulang waktu… atau membiarkan semuanya hancur
dan terbentuk dunia baru tanpa aturan.â€
Hayato
dan Eirikr saling pandang. Lama.
“Jika
kita kembali, kita akan kehilangan semua yang kita alami di sini,†kata
Hayato.
Eirikr
tersenyum. “Tapi kalau kita biarkan… dunia akan jadi ladang perang abadi.â€
Mereka
berdua mengangguk.
Lalu
Hayato meletakkan katana-nya ke tanah.
Eirikr
menancapkan kapaknya di sampingnya.
“Kami
pilih… untuk mengakhiri ini.â€
Penjaga
Waktu mengangguk. Jam pasir di tangannya terbalik kembali. Cahaya putih
menyelimuti segalanya.
---
Epilog
Hayato
terbangun di pelatihan dojo klannya. Keringat membasahi keningnya. “Mimpi?â€
gumamnya… tapi saat ia membuka lemari, sebuah tanda kapak Viking terukir di
gagang katana-nya.
Eirikr
berdiri di tepi pantai Norwegia, menatap lautan. Di pasir, ada serpihan besi
yang bukan dari zamannya—seperti potongan senapan.
Mereka
hidup kembali di zaman masing-masing.
Tapi
kenangan… tetap ada.
Dan
di suatu tempat, jam pasir masih berdetik. Karena waktu… selalu bisa retak
lagi.
TAMAT
Â
0 komentar:
Posting Komentar
Bantu kami dengan cara berkomentar dengan baik di blog ini. agar blog ini tetap memberikan yang terbaik buat anda :) terimakasih